Jalan Panjang Mengakhiri Kejahatan Seksual

Oleh: Mahesa Desaga, Penulis & Sutradara Film

Pada 2017, Hollywood bergejolak hebat ketika banyak aktor perempuan dan para pekerja perempuan di industri film memberikan kesaksian bahwa telah dilecehkan secara seksual oleh Harvey Wenstein. Harvey Weinstein sendiri adalah salah satu Produser Film paling powerful di Hollywood. Kesaksian tersebut membuka tabir bahwa aksi pelecehan seksual yang dilakukan Harvey Weinstein tersebut sudah dilakukan sejak bertahun-tahun sebelumnya, khususnya terhadap aktor perempuan pendatang baru para pekerja lainnya. Aksi ini mendorong hadirnya gerakan “Me Too” di Hollywood. Yang kemudian membuka borok kasus pelecehan yang jamak terjadi di Hollywood yang melibatkan figur-figur mahsyur di sana.

Peristiwa tersebut pun berdampak di Indonesia, banyak terbuka kasus-kasus pelecehan, kekerasan yang disebut sebagai sebuah Kejahatan Seksual. Di berbagai bidang menyimpan borok dan bobrok kejadian kejahatan seksual yang saking berulangnya dianggap sebuah kewajaran. Mulai dari bidang kreatif seperti Musik, Sastra, Film sampai bidang-bidang pekerjaan pelayanan publik.

“Kewajaran” tersebut hadir dikarenakan pandangan patriarki yang memang masih menancap kuat di mindset masyarakat. Perempuan masih diposisikan sebagai sub-ordinat dari segala macam pola berkehidupan. Kasus pernikahan di bawah umur, stigma-stigma, maupun ruang aman bagi perempuan dalam berkarir adalah masalah yang umum terjadi dan terkesan dinormalisasi atas nama status sosial maupun tingkat ekonomi.

Rumitnya penyelesaian kasus ini pun harus pada perspektif patriarki yang digunakan dalam menyusun kebijakan publik sampai undang-undang. Seperti pada upaya pengesahan RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) yang selalu berbenturan dengan argumen-argumen yang seolah membenturkan RUU tersebut dengan UU lain yang sudah establish, bahkan dibenturkan dengan norma umum masyarakat.

Celakanya, norma-norma tersebut berlandaskan patriarki akut yang berumur puluhan dekade. Hal ini menunjukn bagaimana pikiran patriarki tanpa sadar menjadi ke-normal-an bahkan dianggap kepatutan.

Sebetulnya, hal tersebut bisa mulai kita urai dengan memandang perempuan sebagai subyek. Subyek yang memiliki fungsi pikir dan fungsi kerja yang sama. Sehingga ketika kita menyadari itu kita akan memahami perempuan juga punya hak yang sama, kesempatan yang sama, privileged yang sama.

Parents Guide
Parents Guidehttp://www.burhanabe.com
Info seputar parenting, mulai dari kehamilan, tumbuh kembang bayi dan anak, serta hubungan suami istri, ditujukan untuk pasangan muda.

Related Posts

Comments

Stay Connected

0FansLike
400FollowersFollow
8,385FollowersFollow

Recent Stories