Kemen PPPA Dorong Penggunaan UU PA Tangani Kasus Kekerasan Seksual

Belakangan banyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang terungkap di tengah masyarakat. Beberapa diantaranya adalah kasus kekerasan seksual terhadap 13 santriwati di pondok pesantren di Bandung, dugaan kekerasan seksual oleh oknum Aparat Penegak Hukum (APH) terhadap anak berusia 13 tahun di Gowa, kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayah terhadap anak di Depok, dan berbagai kasus lainnya.

“Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) selalu melakukan koordinasi intens apabila terdapat kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk kekerasan seksual. Kami selalu membuka komunikasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dan Dinas PPPA yang biasanya sudah terhubung dengan APH di daerah.

Melalui koordinasi tersebut, kami mendiskusikan hal-hal yang perlu diwaspadai di proses peradilan tingkat pertama. Dalam hal ini, pasal yang digunakan sejak proses penyidikan sudah harus tepat,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA Nahar, dalam Media Talk dengan tema “Ancaman Pidana Pelaku kekerasan Seksual dan Hak Korban” secara virtual, Jumat (4/3) lalu.

Baca juga: Hindari Dampak Negatif, Menteri PPPA: Berhenti Salahkan Korban

Nahar mengatakan, rujukan utama dalam mengeksekusi kejahatan kekerasan seksual pada anak di Indonesia adalah Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi UU.

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA Nahar berbicara dalam Media Talk dengan tema “Ancaman Pidana Pelaku kekerasan Seksual dan Hak Korban” secara virtual.

“Dalam UU tersebut, ancaman pidana yang paling tinggi adalah pidana mati apabila kasus masuk ke dalam kategori persetubuhan dan korbannya lebih dari satu orang. Di samping itu, ada pemberatan sepertiga hukuman untuk kasus-kasus tertentu, misalnya kekerasan seksual dilakukan oleh orang terdekat korban, seperti orangtua, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, pengasuh, dan wali,” ungkap Nahar.

Di samping penetapan hukuman pidana maksimal dan hukuman tambahan terhadap pelaku, Nahar menegaskan korban memiliki hak untuk menerima ganti rugi atau restitusi. “Jangan sampai pidana pokoknya dilaksanakan, tetapi dendanya tidak dibayar dan digantikan dengan melaksanakan subsider. Saya pikir persoalannya belum selesai karena ada korban akibat kejadian kekerasan seksual tersebut. Maka, kita harus mengantisipasi jangan sampai kejadian ini berdampak kepada tumbuhnya kejahatan baru akibat ketidaksempurnaan kita dalam memperhatikan kewajiban pelaku dan kepentingan korban,” tutur Nahar.

Parents Guide
Parents Guidehttp://www.burhanabe.com
Info seputar parenting, mulai dari kehamilan, tumbuh kembang bayi dan anak, serta hubungan suami istri, ditujukan untuk pasangan muda.

Related Posts

Comments

Stay Connected

0FansLike
400FollowersFollow
8,385FollowersFollow

Recent Stories