Dalam keheningan malam itu, saya jadi bisa membayangkan bagaimana rasanya seorang narapidana yang akan dihukum mati keesokan harinya. Sebagai seorang yang menganut agama Kristen, saya juga jadi mengerti bagaimana perasaan Tuhan sebelum mati di kayu salib. Bahkan dalam doanya Ia berkata, “… jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku…”. Bukan suatu malam yang mudah untuk dilalui, namun tetap harus dijalani.
Saya mendapat giliran pertama. Sebelum di dorong ke ruang bedah, saya minta waktu untuk berdoa. Kalau saya ingat waktu itu, sampai sekarang saya masih heran kenapa saya bisa tenang menghadapi operasi yang mungkin dapat mengakhiri hidup saya. Kalau bukan Tuhan yang memberi ketenangan dan kekuatan itu kepada saya, siapa lagi?
Baca juga: Yuk Makan Sayur Guna Hindari Kanker Usus
Berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari dokter bedahnya, operasi berjalan selama 4 jam. Selama pembedahan, saya tidak merasakan apa-apa sedikitpun. Saya acungkan jempol buat dokter anestesi yang membius saya. “Kenapa saya harus takut ya ketika dokter menganjurkan saya harus operasi? Wong nggak kerasa apa-apa sama sekali”, pikir saya. Ya itulah, kadang kita suka overthinking (istilah anak-anak sekarang).
Tiga jam setelah operasi, saya baru dibangunkan. Masih di bawah pengaruh obat bius, terdengar suara orang yang memanggil-manggil nama saya. Saya dibangunkan karena mau dilakukan foto dada. Saya sadar bahwa saya ternyata masih ada di dunia. Saya mengucap syukur kepada Tuhan karena Ia masih menghendaki saya untuk melayani-Nya di dunia ini. Tanpa terasa, air mata keluar membasahi pipi saya. Saya terharu karena bisa melewati ini semua bersama-sama dengan Tuhan. Rasanya tidak mungkin saya menghadapi operasi seberat ini dengan hanya mengandalkan kekuatan diri saya sendiri. Bersama Tuhan saya bisa.
Saat ini saya sudah bertugas lagi seperti biasa. Bahkan teman saya yang kebetulan juga seorang dokter bedah dada berkata, “Baru kali ini saya melihat orang habis operasi jantung tapi tidak seperti habis operasi jantung”.
