Menghargai Keputusan Anak untuk Tidak Ingin Diobati

Suatu siang, ketika masih berada di rumah sakit, saya didatangi oleh orang tua teman saya yang sepupunya ada di ruang gawat darurat. Sepupunya ini ternyata kena kanker payudara dan sudah menyebar ke paru, terlihat dari napasnya yang berat. 

Raut wajah orang tua teman saya ini terlihat kesal dan ingin marah. Sepupunya ini ternyata selama hidupnya dipelihara oleh orang tua teman saya tersebut. Mereka sudah menganggap sebagai anaknya sendiri. Saat ketahuan bahwa dia mengidap kanker payudara, orang tua teman saya ini sebenarnya sudah siap untuk mengeluarkan biaya berapapun untuk pengobatannya. 

Sepupunya ternyata punya pemikiran lain. Ia tidak ingin membebani orang tua teman saya yang selama ini telah merawat dan menyekolahkan dia sampai lulus menjadi seorang sarjana. Itulah mengapa ia memutuskan untuk berobat alternatif, minum jamu-jamuan.

Semua pasti sudah tahu apa yang terjadi bila seseorang yang terkena kanker diobati dengan ramuan. Tidak jauh seperti apa yang terjadi pada sepupu teman saya saat di ruang gawat darurat.

Baca juga: Moms, Ini 4 Manfaat Menyusui

Orang tua teman saya dengan nada kesal berkata, “Om sudah bilang sama dia untuk kemoterapi, tapi dia tidak mau. Sekarang jadi begini. Kalau sudah begini, kita bisa bikin apa?”

Saya jawab si om, “Satu hal yang bisa kita lakukan om, om dan tante masuk ke ruang gawat darurat dengan wajah tersenyum. Tunjukkan pada dia bahwa om dan tante menghargai keputusannya. Dampingi dia, peluk dia, dan sampaikan kata-kata yang menyenangkan hatinya. Ungkapkan bahwa om dan tante menghargai keputusannya dan om dan tante akan selalu sayang sama dia. Hidupnya mungkin tidak lama lagi. Biarlah menjelang akhir hidupnya dia merasa dihargai dan dikasihi oleh orang-orang yang mencintai dan dicintainya”.

Bersyukur om dan tante ini mau mengikuti nasihat yang saya sampaikan. Mereka tetap berada di samping keponakannya sampai ia menghembuskan napasnya yang terakhir menjelang tengah malam.

Keesokan harinya si om menyampaikan pesan melalui telepon genggamnya, “Dok, terima kasih atas anjurannya kemarin. Saya bersyukur dapat mendampinginya sampai ia meninggal. Memang benar ya dok, daripada marah-marah, mending kita tersenyum di hadapannya dan menikmati kebersamaan dengan dia untuk terakhir kalinya”.

Seseorang yang sakit seberat kanker, termasuk anak-anak, punya hak atas dirinya sendiri. Sebagai dokter, bahkan keluarga, juga punya hak dan kewajiban untuk menjelaskan kepada mereka tentang semua yang berkaitan dengan penyakit yang diidapnya. Setelah mereka mendapatkan semua informasi, keputusan selanjutnya ada ditangan mereka. Bisa saja mereka memutuskan untuk diobati maupun tidak mau diobati. 

Kalau kasusnya anak, mungkin ada yang berpikir, “Mereka kan masih kecil, belum mengerti apa-apa. Jadi biarlah orang tua yang memutuskan”.

Saya setuju dengan pemikiran tersebut bila kasus yang dihadapi sang anak bukanlah penyakit-penyakit berat seperti kanker, HIV/AIDS, dan lain-lain. Sebab bisa jadi anak tersebut tidak mau diobati karena takut disuntik atau diinfus misalnya.

Jika kasusnya kanker seperti kasus anak di atas, yang sepertinya dia juga sudah tidak ada semangat lagi untuk berobat setelah menjalani serangkaian proses pengobatan yang boleh dibilang cukup berat dan hasilnya juga tidak menjanjikan, mungkin kita bisa memberi dia kesempatan untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri.

Jangan mengatakan hal ini sebagai suatu pembiaran. Hal yang dilakukan ini justru hendak memanusiawikan manusia. Daripada harus menderita akibat pengobatan yang dijalani, lebih baik dia menikmati sisa hidupnya dengan penuh rasa bahagia sampai akhirnya menutup mata untuk selama-lamanya.

Foto utama oleh cottonbro dari Pexels

Foto oleh Anna Shvets dari Pexels

Related Posts

Comments

Stay Connected

0FansLike
400FollowersFollow
8,385FollowersFollow

Recent Stories