Apakah Anak Merupakan Perpanjangan Ambisi Orang Tua?

Banyak orang tua was-was berlebih akan masa depan anak-anak. Sehinga tanpa sadar acap masuk terlalu jauh “menyetir” hidup dan kehidupan mereka. Padahal hidup dan kehidupan sejati mulai dan hadir ketika rasa takut berlebih tersebut berakhir.

Setiap insan terlahir dengan amanah tertentu, memiliki sesuatu untuk dipenuhi. Bahkan tak jarang ada amanah membawa pesan untuk disebarkan atau menuntaskan beberapa pekerjaan. Kita, dan anak-anak, pada dasarnya tidak berada di semesta ini secara kebetulan. Semua membawa amanah untuk kebaikan.

Nah.., jika menerapkan 5 orientasi di atas secara maknawi, sejatinya akan lahir kesadaran baru. Bahwa anak bukan objek kepanjangan tangan menunaikan ambisi orang tua yang tertunda, “merasa” paling tau dan bertanggung jawab untuk masa depan mereka.

Baca juga: Moms dan Pops, Ayo Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar

Tidak mudah memahami mengapa banyak orang cenderung ingin mengendalikan pikiran dan tindakan orang lain. Termasuk hubungan orang tua dengan anak. Bukankah lebih pas justru membebaskan pikiran anak-anak agar punya kemampuan mumpuni memilih tindakan kebaikan dalam menjalani kehidupan?

Jika kebetulan pikiran dan tindakan anak-anak kita “sama” seperti yang kita harap dan doakan, merupakan kebaikan yang patut disyukuri. Namun sekalipun tidak, sepanjang menghasilkan kebaikan untuk diri dan lingkungan, adalah hal yang baik juga.

Keinginan menjadikan anak sebagai perpanjangan ambisi agaknya digerakkan rasa takut berlebihan, akibat kita tidak menjalani kehidupan layaknya tata orang hidup. Hidup dalam pikiran, bukan dalam dan dengan tindakan. Keinginan dalam tubuh sejatinya pertanda baik.

Misal, uang di dompet merupakan pertanda baik. Sesuai dengan tempat dan peruntukannya. Semua menjadi rumit ketika uang dan nafsu masuk dan merasuki perasaan dan pikiran manusia. Demikian juga “keinginan” menjadikan anak sebagai perwujudan ambisi yang tertunda. Menjadi tidak baik jika tidak diletakkan pada tempat seharusnya.

Ikhtiar kita adalah menempatkan sesuatu di tempat seharusnya. Di titik ini, akan hadir kejelasan yang tak jarang membuat kita lebih jelas. Kejelasan memandang mendatangkan ketenangan, kebahagiaan. Begitu kebahagiaan terekspresikan, kita takkan berkonflik dengan siapa pun. Termasuk “mengarahkan” anak akan menjadi apa dan dengan cara bagaimana mereka menjalankan amanahnya.

Foto oleh Egor Myznik dari Unsplash

Kita berkuasa penuh memilih jalan hidup berlandaskan kegembiraan. Tidak semata mengandalkan pikiran logis. Ada ruang bagi kemungkinan terdapat kehidupan lain berbeda dari yang ada. Pikiran merupakan instrumen kuat, apa lagi dengan emosi yang menyertainya, mengubah kimiawi tubuh dan cara bertindak menjadi lebih bermakna.

Inilah cara menata diri, pikiran dan emosi. Agar tidak terjebak menjadi ambisius mewujudkan yang tak sempat dilakukan, lalu “meneruskannya” ke anak-anak. Baik juga merasakan dan menikmati hidup dengan segala kemungkinan. Pahit-manis, gelap-terang, atau panas-dingin dalam mendampingi anak. Jalani dan nikmati semua dualitas tersebut. Jangan takut dengan perjalanan pengalaman meski tidak mengenakkan.

Milikilah kecerdasan yang hidup dan bertumbuh. Hindari membentuk opini agar kita selalu bertindak dengan kecerdasan aktif. Lihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Jika sudah menetapkan pendapat bagaimana anak-anak harus menjalani kehidupan, kita mengubur kemampuan diri mengalami jalan hidup yang alami. Karena kesan masa lalu yang sudah terformulasikan dengan kokoh mengesampingkan realitas yang ada saat ini.

Bila mampu melihat semua apa adanya dengan kecerdasan yang bertumbuh, tak satupun kemungkinan terlewatkan. Semua hidup dan berproses untuk kita. Bisa jadi ada orang tidak melihat apa-apa, namun kita melihat jelas sesuatu yang baik sebagai pegangan. Sementara orang lain hanya melihat masalah, kita justru melihat kemungkinan dan bahkan solusi.

Jangan hadirkan penderitaan karena ketidakmampuan melihat upaya pendampingan anak secara jelas. Andai menderita karena amanah mendampingi anak, sudah waktunya memperbaiki diri. Ketika menderita karena amanah pendampingan, semua orang sekitar pasti ikut menderita. Lupakan rasa was-was. Itu hanya “drama” dalam pikiran. Jadilah sutradara handal agar drama yang kita jalani berjalan sesuai skenario secara alamiah.

Ya, benar.

Ada drama di dunia ini yang mungkin terjadi tak sesuai keinginan. Tapi, setidaknya apa yang terjadi di benak kita berjalan seperti dibayangkan. Jika dapat memikirkan apa yang diinginkan, bukan secara kebetulan tetapi secara alami, akhirnya apa yang terjadi akan seperti yang kita doakan dan kerjakan.

Baca juga: Bertutur melalui Cerita Jadi Cara Efektif untuk Sampaikan Pesan Kebinekaan

Perlu transformasi agar ketika berada di sekitar anak-anak, mereka menikmati betul hidup bersama kita. Saat kita tak berada di sekitarnya, mereka tetap merindukan kita; bukan sebaliknya.

“Anak tidak lahir semata untuk kepentingan orang tuanya. Juga bukan semata milik keluarganya. Anak adalah milik masa depan. Jadi, mereka harus berusaha keras demi kebaikan dalam segala hal yang dilakukan. Bertanggung jawab atas masa depan sendiri. Ikhtiar kita, mereka kita dampingi dan dukung secara memadai sesuai situasi, kondisi dan kebutuhan!”

Maximus Gorky Sembiring adalah seorang pegiat pembelajaran
sepanjang hayat & praktisi pendidikan jarak jauh serta guru
besar Manajemen Pendidikan Jarak Jauh di Universitas Terbuka.

Foto utama oleh Daniel K Cheung dari Unsplash




Parents Guide
Parents Guidehttp://www.burhanabe.com
Info seputar parenting, mulai dari kehamilan, tumbuh kembang bayi dan anak, serta hubungan suami istri, ditujukan untuk pasangan muda.

Related Posts

Comments

Stay Connected

0FansLike
400FollowersFollow
8,385FollowersFollow

Recent Stories