Merayakan Persaudaraan dengan Tinju Adat yang Damai di Nagekeo

Etu atau disebut juga Mbela dan Sudu, ini merupakan sejenis Martial Arts (sebuah sistem dan tradisi pertempuran yang dimodifikasi yang dipraktikkan untuk sejumlah alasan seperti pertahanan diri; aplikasi militer dan penegakan hukum; kompetisi; perkembangan fisik, mental, dan spiritual; hiburan; dan pelestarian warisan budaya tak benda suatu suku/bangsa).

Menerapkan sistem pertarungan satu lawan satu, tinju adat ini biasa dipentaskan di kampung-kampung tradisional seputaran Nagekeo setiap tahun pada musim kemarau, atau pada masa senggang sesudah panen dan waktu bulan purnama. Alat tinjunya bukan dengan sarung tinju seperti umumnya dipakai, namun dengan tali ijuk yang dipilin kemudian dibentuk gumpalan. Dalam pelaksanaannya, Etu tidak hanya melibatkan para petarung, wasit, dan pelerai, tapi juga promotor, penari, dan tabib tradisional.

Etu berbeda dari tinju konvensional. Para petarung menggunakan sarung tinju dari anyaman ijuk dan mereka hanya boleh memukul menggunakan satu tangan, sementara tangan yang lainnya untuk menangkis serangan. Jika pada tinju konvensional boleh bertinju bebas tanpa kendali dari pihak luar, maka dalam Etu para petarung bertanding di bawah kendali penuh pihak luar. Hal ini demi mencegah tindakan membabi buta. Etu sebagai ekspresi hidup adalah perjuangan. Rasa persaudaraan jadi kekuatan di dalam Etu. Serta Purifikasi atau pendamaian kembali (Healing Event). Motif tinju tradisional ini adalah murni bagian dari adat, sebagai sarana untuk merayakan kehidupan, sebagai alat untuk mempersatukan masyarakat. Secara teknis Etu tidak memiliki aturan pasti mengenai jumlah ronde; pertandingan dapat dihentikan jika salah satunya berdarah atau sudah terlampau emosi atau marah, karena peran penengah adalah untuk meredakan amarah petarung dan mendamaikan mereka kembali. Lamanya waktu pertandingan turut ditentukan oleh kekuatan para petarung, seberapa kuat dia menyerang dan mempertahankan diri dari pukulan lawan. Kalau dalam pertandingan ada yang terluka, berdarah atau jatuh biasanya mereka akan kembali disembuhkan melalui ritual adat khusus pada hari ketiga atau terakhir yang dinamakan “Zoka” yang dilakukan oleh para tokoh adat dari suku Gajah yang ada di kampung ini juga.

Etu, dan juga ritual adat lainnya, wajib dilaksanakan di Kisa Nata (alun-alun) rumah adat (Sa’o Waja) yang merupakan pusat dari aktivitas adat dan kebudayaan masyarakat setempat. Di tengah-tengah Kisa Nata itu terdapat tugu kayu bercabang dua yang dipancang di atas batu bersusun (Peo) yang melambangkan persatuan dan persekutuan masyarakat. Sehari sebelum Etu digelar, seluruh masyarakat memadati Kisa Nata dan merayakan malam itu dengan pertunjukan seni musik dan tari (Dero). Etu menjadi tontonan yang menarik karena setiap wilayah, baik perwakilan dari Nagekeo maupun Ngada, sama-sama mengirimkan wakil terbaiknya untuk beradu cepat tangkas dalam duel antar lelaki itu. Etu sebagai sarana untuk semakin mempererat tali persaudaraan. Para penonton dari kedua kubu akan mendukung petarung terbaik mereka dengan nyanyian dan iringan musik.

Related Posts

Comments

Stay Connected

0FansLike
400FollowersFollow
8,385FollowersFollow

Recent Stories