Dari Gelar Wicara Pendidikan Seks untuk Anak: Orang Tua Narasumber Utama

Sebuah acara pameran seni bertajuk Speak Up (Angkat Bicara) digelar di akhir bulan Juli lalu, digagas oleh Creativite, sebuah lembaga nir laba penyedia ajang edukasi dan art space, memamerkan 55 karya seni dari seniman anak-anak sekitar Jabodetabek berusia antara 12-17 tahun, bertemakan kekerasan seksual pada anak. 

Tidak sampai sebulan kemudian, Creativite melanjutkan misi mensuarakan kegelisahan dan keprihatinan yang sama dengan menghelat gelar wicara edukatif yang ditujukan kepada para orang tua, remaja dan publik, bertujuan untuk memberikan panduan dan pengetahuan mengenai pendidikan seks pada anak untuk mencegah pelecehan seksual.

Menghadirkan Friska Asta (Psikolog & Penulis, Founder Biometric Indonesia), Vibriyanti (Mompreneur & Founder SmartMumsID) dan Prajna Dewantara (Seniman & Penyintas) sebagai pembicara-pembicara utama, gelar wicara yang dipandu oleh Gie Sanjaya (Penggagas Creativite) ini tidak hanya mengantarkan cakrawala kesadaran dan pengetahuan kekinian yang begitu penting bagi orang tua, namun juga mewujud menjadi sebuah ajang berbagi pengalaman, keprihatinan dan kekhawatiran dalam bentuk dialog yang mengharukan sekaligus mencerahkan. Menyadarkan semua pihak bahwa ikhtiar ini masih panjang, berat dan bersama tidak boleh berhenti untuk menghentikan kekerasan seksual pada anak.

Gie Sanjaya menyampaikan, “Seminar atau gelar acara Pendidikan Seks Pada Anak Untuk Menanggulangi Pelecehan Seksual ini merupakan rangkaian acara Speak Up yang mengusung tentang isu kekerasan seksual terhadap anak, sebuah respons atas terus meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap anak, yang berkaca dari data yang dikeluarkan oleh KemenPPPA. Dari apa yang kita helat hari ini, berharap semua pihak bisa belajar tentang edukasi seks sebagai orang tua yang bertanggung jawab untuk anak.”

Baca juga: Momen Hari Anak Nasional, Anak-Anak Pamerkan Lukisan Suarakan Perlawanan Terhadap Kekerasan Seksual di Ajang Speak Up

Sebagai pembicara awal, seniman Prajna Dewantara dengan berani membagikan pengalaman pahit dirinya yang menjadi penyintas dari 2 peristiwa kekerasan seksual semasa sekolah. “Saat itu, sex education masih terbilang jadi sesuatu yang cukup tabu, walaupun saya mengenyam pendidikan di sekolah internasional, namun belum terlalu detil dan gamblang. Apalagi untuk tujuan melindungi diri dari kekerasan. Saya melihat modus yang dilakukan oleh pelaku kekerasan seksual adalah mengenali para korban sebagai orang-orang dengan latar belakang yang sama seperti jauh dari rumah, merantau, broken home dan vulnerable,” tutur Prajna kepada peserta gelar wicara.



Sementara itu, penggagas komunitas SmartMumsID, Vibriyanti memaparkan bahwa merangkul komunitas parenting dilakukannya untuk bisa berbagi apa aja, termasuk kegelisahan kaum ibu yang terkait dengan bahaya pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak. “Ini juga prihatin terhadap anak-anak yg mungkin dengan kondisi broken home, divorced parents yang seringkali rentan menjadi calon mangsa predator seks anak. Berbagai kondisi lainnya juga bisa menempatkan anak sebagai calon korban. Seperti misalnya sekarang sudah dah full masuk sekolah tatap muka dan merasa menjadi salah satu pintu kesempatan terhadap hadirnya marabahaya pelecehan. Kami di komunitas sudah sangat aware terhadap pentingnya edukasi anak tentangg pengetahuan seks untuk menjaga diri. Ini juga kesempatan yang baik untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan dari kesempatan seperti gelar wicara hari ini,” terang Vibri.



Psikolog, penulis, penggagas Biometric Indonesia, Friska Asta menjelaskan, “Pendidikan seks awalnya tidak membicarakan tentang kekerasan, melainkan tentang pengetahuan tentang tubuh biologis dan hubungan seksual. Namun seiring perkembangan jaman, pendidikan ini juga menggapai aspek-aspek lain yang penting seperti psikologi, budaya, moral, etika dan bahkan nilai-nilai agama. Kekerasan seksual sementara sudah demikian parah, kasusnya cenderung meningkat. Orang tua perlu memandang anak dalam pendidikan seks dengan menaruh perhatian seimbang. Orang tua perlu memberikan fokus yang sama antara mengikhtiarkan anak terlindung dari menjadi korban dan dalam perhatian yang sama juga mengupayakan anak tumbuh sebagai pribadi yang jauh dari menjadi pelaku kekerasan seksual. Karena keduanya bisa datang dari mengalami kekosongan emosional atau gangguan mental. Perlu mengisi kekosongan ini dari anak. Edukasi seksual yang paling penting adalah utamanya dikuasai dulu oleh orang tua, setelah paham baru bisa transfer ke anak. Orang tua adalah narasumber utamanya yang harus mumpuni. Setelah mendapatkan edukasi seks, orang tua diharapkan jadi paham bagaimana secara bijak mengedukasi anaknya.

Baca juga: Kesepahaman Delapan K/L Lindungi Anak dari Kekerasan Ditandatangani

Lebih jauh dalam paparannya, psikolog Friska menjelaskan edukasi seksual kepada anak disesuaikan dengan tahapan umur anak dan perkembangan kemampuan kognitif anak. Biasanya dibagi kedalam fase umur 0-5 tahun, 6-9 tahun dan 10-12 tahun. Selain itu juga ada keamanan personal dalam lingkup pengetahuan dan edukasi seksual. Di sini dijelaskan apa itu teasing, bullying dan pelecehan/harrasment. Ini seimbang, perlu jadi perhatian baik untuk kedua gender untuk menghindari melakukannya dan menjadi korbannya.

Jika Moms dan Pops mengetahui ada anggota keluarga mengalami kekerasan seksual, kalian bisa melaporkan dan mencari bantuan ke call center dan hotline berikut ini.

  • Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA)
  • Call center SAPA 129 / 08211129129 (WhatsApp)
  • E-mail [email protected] / media sosial Komnas Perempuan
  • Call center Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) 148 / 085770010048 (WhatsApp) / media sosial LPSK
  • Cari Layanan
Parents Guide
Parents Guidehttp://www.burhanabe.com
Info seputar parenting, mulai dari kehamilan, tumbuh kembang bayi dan anak, serta hubungan suami istri, ditujukan untuk pasangan muda.

Related Posts

Comments

Stay Connected

0FansLike
400FollowersFollow
8,385FollowersFollow

Recent Stories