Mengasuh Remaja: Jangan Berhenti Dikata “Tidak Boleh”

Sejatinya remaja merupakan tipikal pribadi yang masih labil, mudah dihinggapi gamang akan sesuatu, cenderung disisipi sikap peragu, mudah goyah pada godaan tak terduga. Serta masih minimnya mentalitas bertanggung jawab pada diri sendiri.

Vebry Elizabet Wattimena, M.Psi, psikolog, saat hadir di sebuah acara di BKKBN Provinsi Maluku, beberapa waktu lalu, menuturkan bahwa kondisi remaja di Indonesia dihadapkan dengan berbagai masalah. Mulai dari masalah keluarga, seks bebas, penggunaan narkotika dan sebagainya.

Dalam penjelasannya, Vebry yang mengutip Sigmund Freud, mengatakan manusia memiliki struktur psikologis yang terdiri dari tiga elemen, yaitu id, ego, dan superego. Ketiga hal tersebut saling terpisah namun tetap saling berinteraksi.

Jika dijabarkan, id dapat direpresentasikan sebagai kebutuhan dasar alamiah (contoh: makan, minum, dan seks). Id bekerja dengan menganut prinsip kesenangan. Id mencari kepuasan secara instan terhadap keinginan dan kebutuhan manusia. Apabila keduanya itu tidak terpenuhi, seseorang dapat menjadi tegang, cemas, atau marah.

Baca juga: Agar Ortu Mengasuh dengan Baik & Layak, Pedoman Ini Disusun

Ego berurusan dengan kenyataan/realita, berusaha memenuhi keinginan id dengan cara yang dapat diterima secara sosial. Misalnya, dengan menunda kepuasan dan membantu menghilangkan ketegangan yang dirasakan id jika keinginan tidak segera dipenuhi. Ego mengerti bahwa orang lain juga memiliki kebutuhan dan keinginan.

Selanjutnya adalah superego, yang merupakan aspek moral dari suatu kepribadian yang didapat dari pengasuhan orangtua atau norma-norma dan nilai-nilai di dalam masyarakat dan didasarkan pada moral dan penilaian tentang benar dan salah.

Meskipun superego dan ego dapat mencapai keputusan yang sama tentang sesuatu, alasan superego untuk mengambil keputusan lebih didasarkan pada nilai-nilai moral. Sedangkan keputusan ego lebih didasarkan pada apa yang dipikirkan orang lain. Id, ego dan superego bekerja bersama dalam menciptakan pola perilaku manusia.

Id memberi tuntutan kebutuhan alamiah, ego membatasinya dengan realita, dan superego menambahkan nilai-nilai moral pada setiap tindakan yang diambil. Oleh karenanya, sebaiknya ketiga elemen psikologis tersebut harus seimbang di dalam diri agar mental tetap terjaga.

Dimulai sejak dini

Vebry memaparkan, yang terpenting untuk mengendalikan remaja harusnya dimulai sejak dini. Pembentukan karakter anak tidak dapat dilakukan mendadak tetapi dimulai dari ketika mereka bertumbuh di rumah. Bagaimana kedua orangtua memberikan bekal agama kepada mereka sebagai landasan, dapat menjadi teman komunikasi dan tempat yang nyaman bagi anak.

Kalau jaman dahulu, dengan tatapan mata dan pukulan rotan bisa memberikan efek jera bagi anak, namun sekarang memberikan pendidikan kepada anak tidak bisa demikian. “Kita harus benar-benar memberikan pemahaman, ketegasan dan tentunya memberikan batasan-batasan serta gambaran konsekuensi yang diterima atas setiap perbuatan,” ujar Vebry.

Ketika di rumah anak sudah diberikan bekal agama, komunikasi yang baik dan kegiatan positif, tentu saat bergaul dengan lingkungan anak menjadi lebih kuat dan tidak mudah diintervensi orang lain.

Peran lingkungan sekolah dan teman sebaya juga menjadi hal penting yang tidak boleh dianggap sepele. Alangkah baiknya jika semua guru dapat menjadi mediator terhadap perubahan perilaku anak. Bisa mengenali karakteristik anak didik sehingga belajar menjadi hal yang menyenangkan.

Dengan demikian, pembelajaran dan nilai-nilai yang diberikan di sekolah dapat diserap dan diterima anak dengan baik. Ketika ilmu pengetahuan yang diperoleh di sekolah dikuatkan lagi dari rumah melalui optimalisasi peran orangtua, maka perilaku remaja untuk tetap menjaga dan menjaga masa depannya akan semakin maksimal.

Orangtua yang dekat dengan anak akan lebih mudah untuk berbincang dan memberikan stimulasi kepada anak.

Mengingat perilaku remaja sekarang yang cenderung “Kepo dan baperan”, tugas orangtua dan lingkungan sekolah harus dimaksimalkan. Jika tidak diarahkan dan mendapat pemahaman dengan baik, remaja cenderung mencari tahu tak peduli hal yang positif atau negatif terhadap dirinya.

Dalam diskusi, orangtua tidak boleh berhenti dikata “tidak boleh”. Tapi harus disampaikan pula alasan kenapa tidak boleh beserta penjelasan yang mendukung.

Baca juga: Moms dan Pops, Yuks Waspadai Child-Grooming pada Permainan Daring

Satu hal yang perlu diingat bahwa seks edukasi pada anak berbeda dengan mengajarkan anak melakukan seks. Karena seks edukasi merupakan pengetahuan bagi anak untuk mereka mengenali fungsi tubuhnya.

Sekaligus memberikan pemaham pada remaja mengenai etika dan aturan sosial yang berlaku serta dampak yang dapat ditimbulkan oleh perbuatan mereka.

Tanpa seks edukasi rasa penasaran akan timbul dalam diri mereka sehingga mereka dapat mengambil risiko untuk mengembangkan perilaku yang berakibat fatal bagi dirinya.

Mendengar tanpa mencela, dan menasihati tanpa menggurui mungkin tips yang bisa dicoba oleh orangtua dalam berkomunikasi dengan anak agar anak dapat diajak berdiskusi dengan baik. Sehingga kita bisa membentuk anak remaja yang cerdas dan cinta masa depannya, tutup Vebry.

Foto oleh Burst

Parents Guide
Parents Guidehttp://www.burhanabe.com
Info seputar parenting, mulai dari kehamilan, tumbuh kembang bayi dan anak, serta hubungan suami istri, ditujukan untuk pasangan muda.

Related Posts

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
400FollowersFollow
8,385FollowersFollow

Recent Stories