Ungkapan Hati Seorang Dokter Menjelang Pernikahan Pasiennya

Oleh Dr. Edi Setiawan Tehuteru, Sp.A(K), MHA.

Menjelang tengah malam, terdengar nada panggil telepon genggam. Ketika dibuka, ternyata seorang anggota keluarga pasien yang menanyakan alamat rumah karena ia ingin mengirimkan surat undangan pernikahan keponakannya yang adalah pasien saya.

Sudah lama tidak mendengar kabar dari mereka dan ketika mendapat undangan tersebut, perasaan saya senang sekali hingga tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.

Pasien saya ini, yang selalu saya panggil dia dengan namanya yaitu Difa, adalah seorang remaja yang terkena kanker tulang. Perjuangannya panjang, penuh lika-liku, namun dapat berakhir dengan kebahagian.

Ketika pertama kali bertemu dengannya, saya melihat dia sebagai seorang anak remaja yang energik, aktif, memiliki cita-cita yang tinggi, dan masih banyak lagi lainnya yang rasanya tidak cukup untuk saya tuliskan saat ini.

Baca juga: Bagaimana ASI Cegah Kanker Payudara? Simak Penjelasan Dr. Edi Setiawan Berikut Ini!

Bagaimana tidak, dia anggota OSIS, masuk dalam tim bola basket sekolah, dan saya yakin dia juga mengikuti kegiatan-kegiatan lain yang diselenggarakan sekolahnya. Itu mengapa sangat berat rasanya saat itu ketika harus menyampaikan kabar buruk kepada Difa dan kedua orangtuanya bahwa ia terkena kanker tulang.

Dokter sebelumnya mengatakan bahwa kakinya harus diamputasi. Keluarga kemudian membawanya kepada saya untuk mendapatkan pendapat kedua. Saat itu memang tidak ada pilihan lain kecuali amputasi. Sekalipun saya dan dokter sebelumnya menyatakan harus amputasi, Difa dan keluarga masih mau berjuang supaya tidak diamputasi.

Belajar dari pengalaman saya menangani pasien lain dengan kasus yang sama, saya rujuk Difa ke sejawat saya yang pernah melakukan intra-arterial kemoterapi. Siapa tahu ia dapat melakukan sesuatu yang lebih dari apa yang bisa saya lakukan untuk mempertahankan kakinya.

Ternyata sejawat saya merujuk Difa ke teman sejawatnya lagi yang berada di daratan Tiongkok. Dokter-dokter di sana mau memperjuangkan kaki Difa agar tidak diamputasi dengan melakukan kemoterapi. Namun, setelah dikemoterapi, ternyata respon pengobatan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Dokter mengatakan bahwa tidak ada jalan lain kecuali harus mengamputasinya.

Mendengarkan kabar ini dari orangtuanya, saya merasa khawatir akan kondisi psikologis Difa. Bagaimana tidak, anak yang aktif, salah satu pemain inti di tim bola basket sekolah harus kehilangan kakinya. Pasti Difa akan mengalami goncangan berat dalam hidupnya karena tidak dapat bermain basket lagi seperti biasa. Dia pasti akan kehilangan masa-masa indah itu.

Apa lagi dia masih remaja dan saya yakin masih banyak keinginannya yang ingin ia gapai. Itulah yang berkecamuk di dalam hati dan pikiran saya setelah mendengar kabar kalau Difa akhirnya harus diamputasi juga.

Selesai amputasi, Difa tetap harus menjalani kemoterapi untuk mengejar sisa dari sel-sel kanker yang ada agar tidak sempat menyebar ke paru. Mengingat siklus kemoterapi yang harus dijalani cukup banyak, Difa mengajukan permohonan agar sebagian kemoterapi dapat dilakukan di Jakarta. Apa yang dinginkannya dikabulkan oleh dokter di Tiongkok. Difa dapat melanjutkan kemoterapi di Jakarta dengan saya.

Sebelum bertemu kembali dengan Difa, timbul kekhawatiran lagi dalam hati dan pikiran saya. Saya membayangkan wajahnya yang cemberut karena mungkin belum dapat menerima kenyataan yang harus dia hadapi. Secara jujur, saya tidak tahu harus bersikap apa dan harus berbicara apa ketika berhadapan langsung dengannya.

Ketika ia dan keluarga berkunjung ke poliklinik untuk mempersiapkan kemoterapi selanjutnya, apa yang saya alami ternyata tidak sesuai dengan apa yang saya bayangkan sebelumnya. Mukanya tenang bahkan ada senyum yang menghiasi wajahnya.

Akhirnya saya memberanikan diri untuk mulai berbicara kepadanya tanpa menyinggung masalah kakinya. Kami berkomunikasi seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Kata demi kata, kalimat demi kalimat mengalir begitu saja keluar dari mulut kami berdua. Saya bersyukur kepada Tuhan karena Difa dapat melalui semua ini dengan ikhlas.

Menurut saya, hal inilah yang membuat Difa dapat bertahan. Di balik kakinya yang harus diamputasi, terdapat hati yang ikhlas dan gembira. Bagi anak-anak yang terkena kanker, hati yang gembira adalah obat yang dapat mendukung proses penyembuhannya. Hati yang gembira, itulah kata kuncinya yang membuat Difa dapat bertahan hingga saat ini.

Tidak mudah bagi seorang remaja untuk memiliki mental seperti Difa. Kebanyakan, kalau sudah begini, biasanya mereka akan menyerah. Difa adalah seorang pejuang. Sekalipun kakinya telah diamputasi, ia tetap tidak mau mengalah dengan keadaan. Ia masih bermain bola basket, namun kali ini ia men-drible bola sambil duduk di kursi roda.

Baca juga: Untuk Pelayanan Terbaik, 6 RS Kemenkes Bangun Gedung Layanan Kesehatan Ibu dan Anak

Sepengetahuan saya, Difa bahkan sudah pernah mewakili Indonesia di Asian Games melalui cabang olahraga bola basket kursi roda. Sekalipun hanya membaca beritanya di media sosial, saya turut bangga dan bahagia karena Difa mampu melalui drama kehidupannya yang saya sebut penuh lika-liku.

Satu hari menjelang Natal tahun 2022 ini, Difa akan memulai babak baru dalam kehidupannya. Ia akan menikah dengan lelaki pujaan hatinya. Saya bersyukur kepada Tuhan yang telah mengirimkan seseorang yang mau dan dapat menerima Difa apa adanya.

Semua pasien-pasien saya selalu saya anggap sebagai anak saya sendiri. Sebagai orangtua, saya akan terus mendoakan Difa agar Difa dapat terus memiliki hati yang gembira. Bukan lagi hati yang gembira di tengah kesusahan, namun benar-benar hati yang gembira di tengah sukacita pernikahan dan perjalanan hidupnya di masa yang akan datang. Selamat berbahagia ‘nak, Tuhan memberkati.

Parents Guide
Parents Guidehttp://www.burhanabe.com
Info seputar parenting, mulai dari kehamilan, tumbuh kembang bayi dan anak, serta hubungan suami istri, ditujukan untuk pasangan muda.

Related Posts

Comments

Stay Connected

0FansLike
400FollowersFollow
8,385FollowersFollow

Recent Stories